HARI KEMENANGAN

———++++++++———–
Cerita Pendek Dari Buku
Oleh Banteng Perah
————————————-

Sebelum mengambil giliran untuk bertadarus, malam 5 Ramadhan 1445 Hijriah, saya menuju ke lemari berukuran kecil di masjid seberang rumah. Walaupun lemari itu tak ajaib layaknya lemari dalam film Narnia : The Lion, The Witch, and The Wardrobe, namun tak kalah antiknya.

Bentuknya yang persegi dengan sudut lancip gagah menghadap empat mata angin, kelir coklat kehitam-hitaman dan berdebu menambah kesan klasik lemari yang sebenarnya masih berusia muda itu.

Tumpukan buku yang tampaknya ratusan, masih terlihat bagus meski sudah mulai coklat termakan udara. Kuambil satu buku, kuseka debu halus di atas sampulnya. Sampulnya tidak menarik, jadul, bahkan terkesan seperti buku-buku paketan jaman belajar di SMA. Melihat sampulnya saja sudah membosankan.

‘Konsep Awal TRIP : Tentara Rakyat Indonesia Pelajar’ adalah judulnya. Template dan terkesan kaku sekali, namun ada yang menarik.

Tentara Pelajar?

Lembar per lembar, kuhabiskan tiap halaman dengan sedikit takjub, ternyata tidak terlalu buruk. Bahkan sangat bagus.

Buku itu bercerita tentang pelajar-pelajar di Surabaya yang mewakafkan jiwa dan raga mereka untuk pertempuran hidup dan mati dalam membela tanah air mereka.

Bagaimana sejarah para kaum pelajar di Surabaya dulu telah ikut andil dalam pertempuran-pertempuran strategis dan mematikan di Surabaya. Siang mereka belajar, malam mereka bertempur. Saat berjumpa, cerita-cerita pelajar ini adalah tentang berapa banyak serdadu Inggris yang sudah di tembak, berapa ranjau yang sudah terpasang, dan seberapa seru pertempuran mereka malam itu. Tak ada rasa gemetar di bibir mereka saat bercerita, melainkan hanya ada antusias dan menggebu-gebu, seolah mereka tak tau nyawa taruhannya.

Apakah anda berpikir kaum pelajar ini adalah hanya anak-anak SMU atau STM? Tidak, yang mengejutkannya adalah pelajar-pelajar ini masih duduk di bangku SMP, ya, Sekolah Menengah Pertama.

Doktrin nasionalisme dan merdeka 100% yang digelorakan pimpinan gerilyawan saat itu, Bung Tomo dan kawan-kawan, tampaknya sangat berpengaruh pada mental anak-anak muda yang bahkan belum genap 15 tahun itu.

Tujuan mereka hanya satu, meraih kemenangan. Meraih kemerdekaan. Meraih kebebasan di tanah mereka sendiri.

Bahkan quotes terkenal di kala mereka tengah lelah dan kalah, seperti api baru yang menyalakan semangat pantang menyerah.

Sakdumuk Bathuk. Sekali langkah diarahkan ke puncak gunung, tiada hati kan ‘rapuh rentah’. Tiada kepala kan ditundukkan. Jika Indonesia merdeka sekarang, maka kita rela mati esok pagi. Kita tidak sudi menjadi pelajar jajahan lagi.

Betapa penuh keyakinan mereka dalam menyambut kemenangan, bahkan apabila ada pegadaian yang menjamin kemerdekaan Indonesia, mereka rela gadaikan nyawanya untuk itu.

Seharusnya seperti itulah kita dalam menyambut kemenangan 1 Syawal 1445 H. Bukan hanya menjadi rutinitas dan template tahunan yang disebarkan di media sosial. Namun keimanan kita tidak benar-benar mempercayai hari kemenangan itu. Kita belum rela mati demi kemenangan itu. Masih terlalu banyak alasan untuk tidak beribadah, bahkan yang wajib dalam perintah Allah SWT, seolah hanya sekedar ‘katanya saja’.

Kita belum rela berpayah-payah dengan keikhlasan hati menahan lapar, puasa, dan terpenting syahwat nafsu fahsya dan munkar demi yang katanya kita sambut dengan hari kemenangan.

Kalaulah dipikir, kalah betul dengan semangat pelajar era TRIP, matipun dia siap asal Indonesia merdeka. Dalam ibadah yang janjinya adalah kemenangan, seharusnya kita mampu untuk lebih yakin lagi. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan itu kepada kita?

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan shalat ‘Isya’. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657).

Seandainya mereka tahu shalat itu membawa kepada kemenangan, niscaya kita akan betul-betul datangi shalat itu walau dengan merangkak.

Lalu sudah seberapa berkorban kita untuk menyambut hari yang kita sebut dengan hari kemenangan itu?

Ternyata ilmu tidak harus datang dari buku tebal dan berasal dari perpustakaan besar. Bahkan di lemari masjid yang kecil, masih terdapat buku pengetahuan yang membawa kita pada perenungan diri lebih dalam.

Iqra’, bukankah itu perintah pertama bagi kita? Maka, belajarlah dengan membaca, niscaya bacaanmu akan membawamu pada kemenangan yang hakiki.

Selamat Idul Fitri.

error: Maaf Konten Di Proteksi