HRW dan Mengapa Dia Layak!

—————————————————————–
_Sebuah pengamatan dari Banteng Perah_
——————————————————————
_*Prolog*_

Saya hendak membuka rangkaian tulisan hasil gelebah hati ini dengan satu kutipan iman dari Aristoteles. Bahwa ujarnya, prinsip demokrasi adalah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya.

Mengapa itu penting? Karena entah bagaimana, atas nama demokrasi dan kebebasan, orang-orang kekinian justru hendak membatasi kebebasan orang lain. Bahkan saking bebasnya, standar kebenaran dunia harus berdasar standar moral miliknya.

Perjumpaan-perjumpaan dengan kasus seperti ini akan mencapai puncaknya justru pada saat pengimplementasian demokrasi itu sendiri, yang kita sebut Pemilihan Umum atau Pemilu. Pemilu sendiri di Indonesia terbagi menjadi dua segmen, tahap satu memilih presiden dan parlemen, tahap dua memilih kepala daerah atau Pilkada.

Pada periode ini, tahap satu telah berlalu, tahap dua yang kini ada di depan mata. Tak pelak pula muncul orang-orang yang mulai berpikir, menafsir, sampai-sampai menganulir moril sesiapa yang hendak tampil.

Seperti halnya iman Aristoteles tentang konsep demokrasi, kita seharusnya menjadikan ini sebagai ajang untuk membebaskan akal sehat dan imajinasi politik guna membangun visi yang kuat, bukan justru saling menghujat. Bahkan, kurang-kurang, ada yang sudah menuangkan pikirannya dalam ruang publik bahwa seseorang tidak layak mencalonkan diri.

Seharusnya Pilkada adalah pesta, pesta dalam mendukung kandidat yang idenya sepaham dengan kita. Bukan justru menjadi pesta membenci karena ada ide yang tidak sealiran dengan kepala dan iman kita. Pilkada adalah pagelaran dukungan, bukan pagelaran kebencian. Dukunglah karena suka dengan kandidatmu, bukan mendukung karena benci dengan lawanmu.

_*H. Rodi Wijaya dan Mengapa Dia Layak*_

Euforia Pilkada juga sampai ke tanah Lubuk Linggau. Bahkan karenanya, telah banyak muncul nama putra-putri terbaik tanah Linggau yang punya potensi mejeng di surat suara. Salah satunya adalah pria yang diberi orang tuanya nama Rodi Wijaya. Karena dia telah tuntas pada rukun Islam yang terakhir, orang-orang menyematkan kata HAJI di depan namanya menjadi Haji Rodi Wijaya atau kita sebut saja kemudian HRW.

HRW adalah salah satu putra terbaik tanah Linggau yang menjabat pimpinan tertinggi pilar legislatif daerah. Yang sejak disahkannya Lubuk Linggau menjadi kota otonom pada 2001 silam, hanya ada empat orang saja yang berhasil menduduki jabatan prestisius sebagai Ketua DPRD Kota Lubuk Linggau yang terseleksi oleh alam dari ratusan ribu penduduk Kota Lubuk Linggau.

Namun masalahnya, beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca opini salah satu kawan yang mengatakan bahwa HRW tidak layak sebagai calon walikota dengan alasan yang pada intinya ada dua.

1. Dia dipercaya akan melanggengkan dinasti politik,
2. Dia tidak berprestasi selama menjabat sebagai Ketua DPRD.

Tentu sebagai orang yang pula dengan segenap hati menjunjung tinggi asas demokrasi, saya menghormati opini itu. Namun resultannya, hak untuk menanggapi opini itu secara otomatis timbul. Dan sangat tidak adil bagi HRW jika tiada orang yang menuangkan pikirannya menjadi antitesa opini kawan itu. Karena prinsip itu, saya akan memberikan pendapat saya bahwa saya mengimani sebaliknya, HRW adalah salah satu yang paling layak meneruskan estafet kepemimpinan H. SN. Prana Putra Sohe sebagai Walikota Lubuk Linggau.

_*Menjawab Dinasti Politik*_

Di era baru yang biasa kita sebut dengan demokrasi seharusnya sudah tidak ada lagi klaim atau bahkan kecurigaan terhadap dinasti politik. Era baru ini adalah era dimana semua manusia merdeka berhak menggunakan atau tidak menggunakan hak politiknya, yakni hak dipilih dan memilih. Tiada batasan yang mengatur keluarga siapa yang boleh dan keluarga siapa yang tidak boleh. Karena pada landasannya, yang akan menentukan layak atau tidak layaknya calon pemimpin adalah rakyat.

Bukanlah suatu dosa kita dilahirkan dari keluarga mana dan memiliki privilege (keistimewaan) apa. Juga bukanlah dosa jika kita mengikuti takdir dengan siapa kita merajut cinta. Lalu siapa kita dengan hanya bermodal pikiran dan standar moral buatan sendiri menghakimi seseorang berdosa dan haram menjadi politisi, karena kita menduga dia melanggengkan dinasti.

Bukankah telah banyak kita saksikan, bahkan keturunan darah dari para ‘raja-raja’ terdahulu yang belum mendapat kepercayaan rakyat. Sebut saja yang terdekat adalah Riezky Aprilia, anak dari mantan Walikota Lubuk Linggau H. Riduan Effendi yang kalah dalam Pilkada 2018 Kota Lubuk Linggau. Apakah karena misalnya, dia anak mantan Walikota lalu kita harus meniadakan hak politiknya? Tentu tidak, karena demokrasi memiliki mekanismenya sendiri untuk menyeleksi pemimpinnya, yaitu kedaulatan rakyat melalui Pemilu.

Pada 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang oleh sebagian pihak dianggap memiliki semangat untuk memotong rantai dinasti politik di daerah itu kemudian dihilangkan. Pasal tersebut berbunyi: warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Dalam bagian penjelasan Pasal 7 huruf r, dijelaskan bahwa: yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Oleh MK, pasal ‘dinasti politik’ itu dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945.

Jelaslah bahwa apa yang hendak dibatasi itu bertentangan dengan semangat demokrasi yang mengakomodir setiap manusia berdasarkan individu, bukannya keluarga.

Bahkan di negara yang dikenal sebagai ‘mbahnya’ demokrasi, Amerika Serikat, banyak keluarga yang menduduki jabatan yang sama, dan itu diterima oleh rakyat Amerika asalkan memang dia layak dan memiliki kompetensi. Sebut saja keluarga Bush, keluarga Kennedy, sampai keluarga Rockefeller dan Clinton.

Lalu bagaimana dengan HRW? Bahkan HRW memiliki hubungan yang jauh lebih renggang dengan petahana atau mantan pemimpin jika dibanding dengan tokoh-tokoh yang tersebut di atas. Kebetulan saja, HRW menikah dengan adik ipar mantan Walikota, sehingga mulai dituduh sebagai bentuk pelanggengan dinasti politik. Ayolah, bukankah kata Mbah Sudjiwo Tedjo “Kamu bisa berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa kau rencanakan cintamu untuk siapa”.

Lalu bagaimana dari segi hukum dan konstitusi? Demokrasi padanan terbaiknya adalah rule atau aturan alias hukum yang harus dijunjung tinggi. Bukan tentang rasa suka dan tidak suka, tapi tentang bisa atau tidak bisa.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa:

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa:

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pada tingkat undang-undang, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak pilih dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Adalah aneh apabila orang yang mengaku-ngaku pro demokrasi tapi malah berusaha menolak pencalonan seseorang yang mencoba mengakomodir hak politiknya, bukankah justru orang seperti itu yang menjadi musuh demokrasi?

Bahkan lebih jauh, seorang penulis dan Grand Master Catur dari Amerika, Robert Byrne membuat adagium yang disepakati oleh banyak orang-orang politik dunia dan sering sekali dikutip dalam laman-laman politik. Katanya : “Demokrasi diizinkan untuk memilih kandidat yang paling tidak Anda sukai.”

Sebegitu kuatnya demokrasi menjunjung hak-hak manusia, bahkan dia diizinkan memilih orang yang tidak dia sukai. Suka atau tidak, itulah demokrasi, cara terbaik yang kita pakai saat ini untuk menentukan siapa menjadi apa melalui Pemilu. Jika rakyat menilai engkau layak, walau engkau hanya sebagai tukang kayu maka jadilah engkau. Namun meskipun dia anak raja, kalau rakyat tak suka, habislah dia.

Walaupun tentu, kompetensi tetap yang paling utama dalam menilai kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Maka perlu pula menguji rekam jejak dan prestasi.

_*HRW dan Prestasi yang Bersamanya*_

Berbicara prestasi akan bias sekali apabila kita tidak melihatnya secara objektif. Perbandingannya pun harus baik dan seimbang. Kita juga harus bersedia membuka mata dan telinga untuk dapat lebih jauh menilai tentang prestasi dalam ruang lingkup legislatif. Jika berbicara mengenai prestasi, ada banyak sekali yang dapat diungkapkan mulai dari prestasi individu yang nilainya akan sangat subjektif sampai prestasi yang bisa dilihat secara langsung oleh khalayak.

Karena fokus kritik adalah saat HRW menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Lubuk Linggau, maka kita fokuskan saja prestasi HRW pada bidang yang dikuasainya selama 10 tahun.

Jangan kita pandang prestasi lembaga legislatif seperti kita melihat prestasi dari lembaga eksekutif. Perbandingan itu tidak adil. Kita juga tidak bisa menilai prestasi DPRD yang dalam mengambil keputusan harus kolektif 30 anggota, dibandingkan dengan cara kita menilai prestasi kepala daerah yang dalam mengambil keputusan dia bisa putuskan sendiri.

Bahkan, Ketua DPRD/Pimpinan DPRD yang mampu mengakomodir kepentingan setiap anggota dewan yang berasal dari multi partai dan latar belakang sosial yang berbeda sehingga dalam mengambil keputusan dapat selaras dan sependapat, menurut saya itu adalah sebuah prestasi tersendiri.

Pertanyaannya, bagaimana kita menilai seorang legislator itu berprestasi atau tidak? Maka fokuskan pada tugas pokok dan fungsi dari lembaganya. Yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Namun sebelum itu, agar kita tidak memandang remeh apa pencapaian HRW, perlu diketahui HRW adalah satu-satunya yang menjabat Ketua DPRD Kota Lubuk Linggau selama dua periode sejak Lubuk Linggau menjadi DOB. Pendahulunya adalah Mahmud (2001-2004), Elven Asmar (2004-2009), Hasbi Assadiki (2009-2014) sebelum akhirnya DPRD Kota Lubuk Linggau dinahkodai oleh HRW (2014-2024).

Lalu selama periode menjabat, HRW dan anggota DPRD Kota Lubuk Linggau telah merampungkan puluhan Perda untuk kemajuan dan perkembangan Kota Lubuk Linggau. Hal ini dapat kita sebut sebagai prestasi HRW dalam memimpin lembaga itu sehingga dapat produktif menghasilkan peraturan yang baik.

Seperti misalnya, mengutip dari laporan Badan Pusat Statistik bahwa pada tahun awal HRW menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Lubuk Linggau, lembaga ini telah menyelesaikan 12 Peraturan Daerah pada Tahun 2015, dan 13 Perda pada tahun 2016. Sehingga rata-rata adalah 1,1 Perda setiap bulan yang dikeluarkan oleh DPRD.

Sejak masa-masa dunia mencekam dilanda Covid-19 pada era 2019-2022 pemerintah dengan darurat harus fokus dalam penanganan Covid-19 yang tidak menentu waktu itu. Anggaran bahkan sampai di refocusing, apabila tidak ada kecocokan antara legislatif dan eksekutif maka penanganan Covid-19 di tiap-tiap daerah tidak akan berjalan dengan baik. Namun berkat kerjasama yang baik antara legislatif dan eksekutif, serta tangan dingin HRW mengkonsolidasi rekan-rekan legislator lainnya membuat Lubuk Linggau dapat lolos dari lubang jarum resesi.

Pada Tahun 2023, produktivitas DPRD dalam bidang legislasi kembali di gas. Di awal tahun, eksekutif dan parlemen Lubuk Linggau bersepakat akan mengeksekusi 29 Raperda yang 15 diantaranya adalah Raperda inisiatif DPRD dan telah disepakati masuk dalam Propemperda 2023. Dilansir dari laman KoranLinggaupos.Id sebanyak 13 Raperda berhasil diloloskan menjadi Perda dan 5 diantaranya adalah inisiatif DPRD. Sementara pada Tahun 2024 DPRD Kota Lubuk Linggau mengajukan 9 Raperda inisiatif.

Raperda yang diusulkan oleh DPRD yang dipimpin oleh HRW itu sendiri adalah Raperda yang memang sangat urgen dan dibutuhkan guna menjawab kebutuhan. Adapun 9 Raperda itu adalah tentang pengelolaan tenaga kesehatan, Raperda tentang pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, Raperda tentang PDAM Tirta Bukit Sulap, Raperda tentang anti perundungan di lingkungan sekolah, Raperda tentang pengelolaan sampah, Raperda tentang pembinaan dan pengembangan Industri Mikro, Kecil dan Menengah, Raperda tentang pemajuan kebudayaan daerah, Raperda tentang penyelenggaraan kearsipan dan Raperda tentang keolahragaan.

Apakah kita pula akan menafikan produktifitas DPRD Kota Lubuk Linggau itu bukan karena campur tangan HRW? Terkadang memang semut di seberang lautan ia tampak, tapi gajah di pelupuk mata tak nampak.

Lalu dalam bidang anggaran, sebagai Ketua DPRD yang memiliki tanggung jawab menjadi garda terdepan dalam hal bidang budgeting, HRW dan rekan legislator lainnya dengan teliti menyisir setiap anggaran agar tidak terjadi potensi korupsi. Hasilnya, 12 kali penilaian WTP dari BPK secara berturut-turut diraih oleh Kota Lubuk Linggau, dan 9 diantaranya didapat saat HRW menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Lubuk Linggau.

HRW juga memutar otak bagaimana agar refocusing anggaran saat penanganan Covid-19 tidak mengacaukan kepentingan masyarakat Lubuk Linggau, dan dia melakukannya dengan baik.

Terakhir adalah komando HRW dalam menjaga marwah DPRD sebagai lembaga pengawas, dirinya maksimalkan bersama anggota yang lain dengan melayangkan kritik-kritik dan usulan-usulan aspirasi masyarakat agar dijalankan dan direalisasikan oleh eksekutif. Dirinya juga secara sadar dan dengan intensif melakukan pengawalan terhadap pelaksanaan realisasi APBD agar dapat terserap maksimal sehingga pembangunan dapat berjalan dan memberi manfaat kepada warga.

Apabila semua fungsi telah dijalankan dengan maksimal, lalu prestasi seperti apalagi yang perlu dibuktikan?

HRW adalah manusia politik, belasan bahkan puluhan tahun hidupnya terkait dengan politik, bahkan sebagain besar dia adalah pelaku utamanya. Kepala daerah adalah jabatan politik, dan sudah selayaknya dipangku oleh mereka yang berpengalaman di bidang politik. Dan itulah mengapa saya menganggap HRW layak.

_*Epilog*_

Pada akhirnya rakyatlah yang akan menentukan siapa yang layak atau tidak. Seperti istilah terkenal dalam demokrasi, Vox populi vox dei – suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak ada satupun manusia di era demokrasi ini yang dapat dengan sengaja membatasi hak-hak yang dipunya setiap individu dalam menjalankan kemerdekaannya. Salah satunya adalah merdeka dalam politik.

Namun lagi, kitapun harus sadar, bahwa kita juga tak dapat membatasi mulut orang dalam berbicara. Yang hanya perlu kita lakukan adalah perhatikan, lihat subtansi pembicaraannya. Karena benarlah, Index animi sermo – cara seseorang berbicara menunjukkan pikirannya.

Jika dia berpikir kolot dan mundur ke belakang, dia sejatinya bukan lawan yang layak untuk kita berdebat.

Salam santuy dari Banteng Perah.

Penulis: Bayu SembiringEditor: Mimin Lubuklinggau
error: Maaf Konten Di Proteksi