KUDATULI DAN KUDABUTA

Oleh : Bayu P. Sembiring

 

Hari itu, Sabtu Kelabu, tanggal yang sama dengan hari ini, hanya saja berjarak 26 tahun ke belakang, Jl. Diponegoro, Nomor 58, Jakarta Pusat, kelabu oleh asap-asap perlawanan. Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenang dengan peristiwa Kudatuli pada hakikatnya bukanlah pertarungan PDI Soerjadi Versus PDI Megawati, dengan arena kantor DPP PDI di Jakarta. tetapi pertarungan itu adalah pertarungan antara otoritarianisme Versus keinginan untuk merdeka seutuhnya dengan arena hati dan tekad yang membuncah karena ketakutan kepada rezim.

 

Ya, ketakutan! Ketakutan yang bertumpuk terlalu lama di sanubari aktivis dan rakyat Indonesia. Sangking banyaknya, ketakutan itu tak memiliki lagi tempat untuk ditampung, meluber, mengalir ke setiap sendi-sendi tulang, ketakutan itu mencapai titik nadirnya, kematian.

 

“Daripada mati tidak melawan, lebih baik mati dalam perjuangan,” sepotong kalimat aktivis yang paling dicari waktu itu, Budiman Sudjatmiko. 13 tahun vonis penjara untuknya tak lagi menakutkan. Ketakutan itu sudah lama mati. Ketakutan yang selama ini menyudutkan memunculkan keberanian untuk melawan. Mati tersudut tembok itu memalukan, mending mati dengan setidaknya memberikan luka gores pada lawan.

 

Terlalu ikut campur nya Rezim Orde Baru terhadap internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) waktu itu, adalah titik balik ketakutan itu berubah menjadi keberanian untuk melawan. Ketidaksukaan Rezim atas terpilihnya Megawati Soekarno Putri pada Kongres PDI Surabaya Tahun 1993 memaksa Rezim harus fulltime mengurusi PDI.

 

Pada dasarnya, kongres 1993 memiliki agenda tunggal, menjadikan Budi Hardjono Ketua Umum untuk menggantikan Soerjadi yang dinilai Rezim mulai berulah. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, skenario berantakan, Budi tak jadi, Megawati yang ambil alih.

 

Pidato Megawati menggugah, memantik kembali api pergerakan yang mulai padam. Mengutip syair pujangga India, Swami Vivekananda, suluh perjuangan itu berkobar lagi di hati para aktivis.

 

“Sudah cukup lama kita menangis, jangan menangis lagi, tegakkan mukamu menjadi manusia sejati, untuk menegakkan kebenaran”

 

Bait utama yang menggetarkan jiwa. Rezim khawatir. Perlawanan aktivis yang sedang mati suri diramal akan kembali berdiri. “Merdeka seutuhnya atau mati” yang diteriakkan Jenderal Soedirman akan kembali mengisi ruang-ruang kosong jalanan.

 

Rezim pusing. Megawati yang masih memiliki darah Soekarno di rasa penting dan sangat mungkin memunculkan kembali romantisme terhadap kharisma kepemimpinan Presiden Pertama. Belum lagi aktivis vokal mulai merapat, penentang utama Rezim orde baru kala itu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko juga menjadi pro Mega.

 

Aktivis mentereng lainnya pun ikut andil, sebut saja Garda Sembiring, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Jabotabek, Mochtar Pakpahan, ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), dan Widji Thukul, Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) yang secara bersama-sama menentang kesewenang-wenangan Rezim.

 

Merasa akan tak terkendali, Rezim mengintervensi PDI dengan membuat Kongres Luar Biasa di Medan pada tahun 1996 yang mengangkat kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum.

 

Penyelenggaraan KLB PDI tidak menyurutkan perlawanan. Justru perlawanan semakin masif dan terbuka, di depan gedung DPP PDI dibuka Mimbar Bebas yang dijuluki Mimbar Rakyat. Setiap hari semua aktivis berkumpul di situ. Membuat parodi, membaca puisi, bahkan menghardik terang-terangan Orde Baru. Rezim gelisah, 27 Juli 1996 masa pendukung Soerjadi menyerang gedung DPP yang dikuasi Megawati. Bentrok tak terhindarkan, kubu pro Soerjadi baku hantam melawan kubu pro Mega.

 

Pada akhirnya kerusuhan bisa diredam dengan intervensi TNI dan Polisi. Banyak aktivis ditangkap, tak sedikit juga yang hilang.

 

Sejarah itu harus dibayar mahal. 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang. Namun itu adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan yang kaffah. Setelah peristiwa itu, muncul kerusuhan kerusuhan di berbagai daerah dengan semangat yang sama, mengakhiri Ketakutan!

 

Puncaknya, 1998 Rezim orde baru tumbang dan masuklah kita pada zaman baru, era baru, Reformasi.

 

Di era reformasi seharusnya perjuangan untuk mendapatkan merdeka yang sejati jauh lebih mudah. Akses tak lagi dibatasi, tak ada lagi Undang-undang Subversif. Namun kita masih terjebak dalam satu budaya kolonial, FEODALISME!

 

Feodalisme inilah yang membatasi manusia untuk merdeka secara sejati. Tak hanya tindakan, bahkan pendapat pun harus diedit sedemikian rupa agar menyenangkan penguasa. Celakanya, virus feodal ini juga menjangkiti para aktivis sebagai garda terdepan pemberantas penjajahan. Memang tak semua, tapi banyak.

 

Dalam praktik kehidupan saat ini, jelas masih ada kasta. Antara rakyat dan penguasa seolah diwajibkan harus menghamba. Yang berduit dapat memainkan telunjuknya memerintah semaunya. Yang menyandang gelar kehormatan agama seolah kebenaran ada pada mulutnya. Anehnya, kita mau, dan menganggap itu normal. Mengimaninya, bahkan menjadikannya prinsip.

 

Padahal kalau ingin, para pejuang dan aktivis terdahulu kurang apa. Jabatan, kekuasaan, harta, kekayaan, kenyamanan, dan keamanan akan mereka dapatkan asal bungkam. Diam saja, jangan memimpin gerakan meraih mimpi merdeka para rakyat jelata.

 

Tapi merdeka yang sudah lama dirindukan terlalu indah untuk ditinggalkan. Lagipula, daripada menunduk dan mengangguk, lebih baik menatap dan melawan. Merdeka seutuhnya atau Mati!

 

Benarlah kata Munir, “Pencapaian tertinggi seorang aktivis bukanlah jabatan, tapi mati!”

 

Jabatan itu serendah-rendahnya pencapaian. Feodalisme ini membingkai kita untuk menjadikan pencapaian terendah itu sebagai cita-cita tertinggi.

 

Apabila masa lalu memiliki Peristiwa Kudatuli sebagai pemantik era baru, maka masa depan harus ada KUDABUTA (Kekuatan Pemuda Kubur Kasta). Lenyapkan feodalisme dari kehidupan kita, bahwa pendapatmu adalah independen, hidupmu adalah independen, hanya kau dan Tuhan yang boleh mengintervensi.

 

Kita harus meyakini bahwa kita ini egaliter. Sama dan setara dalam memilih arah perjuangan. Tidak perlu sopan terhadap kebiadaban peradaban, tidak perlu basa-basi untuk kongkalikong dan korupsi, gemakan pendapatmu tanpa merasa ragu, atau takut dituntut. Semua itu akan datang waktunya, dan jadilah bagian darinya. Saat ini hanya ada satu tembok yang menghalangi, KASTA!

 

Peristiwa Kudatuli sekali lagi bukanlah milik PDI semata, tetapi peristiwa itu adalah milik rakyat Indonesia. Kita semua berhak mengambil pelajaran darinya. Namun biarlah ia tetap menjadi sejarah yang tidak berubah menjadi garputala yang mengatur irama masa depan.

 

Pada akhirnya, seperti quotes Akal Buku. memang masa lalu kadang tidak pernah terganti. Tapi ia telah menyelesaikan perannya, dan tidak perlu menjadi hantu untuk masa depan.( *)

Penulis: Bayu P SembiringEditor: Bayu Sembiring
error: Maaf Konten Di Proteksi