SUMPAH SAMPAH

Oleh : Bayu Pratama Sembiring

SAMPAH adalah bom waktu yang memiliki detonator. Dia memang akan bahaya pada suatu saat, namun ancamannya akan selalu ada setiap saat. Tergantung pemegang detonator, tekan sekarang atau belakangan. Naasnya, detonator itu dipegang oleh mereka yang tak paham tentang ledakan ini, alih-alih jadi ahli, malah jadi oportunis dengan segala janji.

Tidak ada pilihan baik untuk sampah, akan selalu jadi masalah, tentang sampah yang bisa jadi maslahah hanya sebatas teori bibir saja. To good to be true.

Di Kota Lubuklinggau, penyelesaian sampah tampaknya hanya jadi cita-cita saja. Bukan, bukan cita-cita, lebih tepatnya utopia.

Memang ada pihak-pihak yang konsen terhadap penyelesaian masalah sampah ini, mungkin masyarakat, atau profesional. Namun jihad kebersihan ini nampaknya hanya akan menjadi beban yang terlalu berat untuk dipikul. Ada harapan bahwa akan ada yang membantu di ujung jalan sana tentang perjuangan ini, namun tragisnya, itu hanya fatamorgana belaka.

Upaya-upaya masyarakat untuk mengubah sampah menjadi maslahah dengan terbentuknya bank sampah, tempat pengolahan pupuk sampah organik, atau upaya lain seperti budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF), serta penelitian-penelitian kampus dan sekolah, hanya menarik mereka yang punya kuasa dan biaya saat-saat acara seremonial saja. Tidak terbaca keseriusan di sana. Bentuk, ekspose di media, lalu tinggalkan! Polanya selalu saja sama.

Namun tidak juga kita menutup mata, masih ada solusi-solusi kecil itu yang bertahan. Pertanyaannya, sejauh mana pengaruhnya? Sudahkan Pemkot Lubuklinggau membuat kajian-kajian tentang seberapa besar dampak bank sampah? Atau kampung bersih yang diresmikan Ketua TP PKK pada 2017 lalu? Atau tempat pembuatan pupuk kompos? Berapa besar dampaknya untuk penumpukan sampah, atau dampaknya untuk masyarakat? Kalau serius, seharunya ada.

Ketidakseriusan penanganan masalah sampah akan berdampak buruk bagi citra Lubuklinggau. Realitanya penumpukan sampah ada di mana-mana, bahkan lahan pribadi masyarakat menjadi sasaran pembuangan sampah. Sementara dinas terkait selalu mengutarakan alasan jadul sedari jaman baholak. Armada pengangkut sampah kuranglah, anggaran kuranglah, masyarakat yang salahlah, dan lah-lah lainnya yang lebih terkesan semacam pembelaan daripada pengakuan.

Tentu kita ingat, ketika Tahun 2014, Walikota dengan percaya diri mengatakan tidak ingin mengarak piala adipura yang didapat. Alasannya, karena tahun depan dia optimis akan menyabet piala sesungguhnya, yaitu Piala Adipura Kencana.

Fyi, Adipura Kencana adalah piala paling prestisius untuk bidang kebersihan. Penilaian Adipura Kencana sangat ketat, yang paling utama dinilai adalah pengelolaan sampah dan good environmental governance serta keberlanjutannya. Kebersihan yang dinilai bukan saja tanah, namun udara, dan air.

Saya berpikir, Walikota tentu sudah ada ancang-ancang, rencana, master plan, bahkan misi-misi tertentu yang akan dilakukan. Namun nyatanya, 8 tahun berlalu, Adipura Kencana, (kalau terlalu kasar disebut omong kosong) hanyalah mimpi kosong belaka. Boro-boro strategi efektif, bertahun-tahun kita tidak beranjak dari masalah yang sama. Air bersih yang tidak merata, PDAM rusak mesin terus, udara yang semakin tidak bersahabat, sampah yang sudah sembarangan dibuang, armada yang tidak mencukupi, warga yang belum sadar, banyak sekali alasan yang sebenarnya, lagi-lagi, kita tidak pernah beranjak dari situ. Tentu, sebagai pemegang detonator, Pemerintah Kota Lubuklinggau harus disalahkan untuk ketidakseriusan ini.

Sudah waktunya Pemkot serius, berikan anggaran yang layak untuk ini, awasi dengan ketat, bila perlu keluarkan Peraturan Daerah (Perda) baru untuk masalah persampahan dan cita-cita menuju Adipura Kencana. Memang kita sudah punya Perda Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, namun Perda itu menurut saya lebih berfokus kepada pemasukan daerah dari pengelola sampah swasta. Lainnya, basa-basi saja.

Daripada mengucurkan dana puluhan milyar untuk proyek-proyek mercusuar Walikota, seperti Inclinator yang lagi mati suri, bahkan untuk menghidupkannya lagi, ratusan juta digelontorkan lagi. Proyek pantai buatan yang tidak masuk akal, atau proyek bangunan-bangunan gedung yang tidak ada gunanya, lebih baik dananya digunakan untuk membeli armada mobil pengangkut sampah yang baru. Cukupi kebutuhannya, agar masalah kekurangan armada ini tidak lagi menjadi masalah yang dikambinghitamkan.

Walikota sudah saatnya beranjak dari menara gadingnya, tinggalkan legacy yang baik di sisa masa jabatannya. Jangan pura-pura buta dengan armada pengangkut sampah yang memprihatinkan. Mobil yang sudah sakit-sakitan, bahkan tidak layak lagi di jalanan, masih saja dipaksa bekerja dengan over muatan. Bukan saja berbahaya bagi supir dan kernet, namun pengguna jalan lain.

2 tahun berselang sejak Adipura Kencana diwacanakan, Tahun 2016 Walikota punya ambisi baru. Sampah akan dikelola dengan teknologi moderen. Teknologi yang nantinya akan dikembangkan oleh tenaga dari Universitas di Jepang, sehingga sampah akan diolah menjadi  salah satu pendukung bahan baku dari perusahaan nasional. Sehingga kita tidak perlu lagi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Wow, terkesan solutif bukan? Nyatanya, lagi-lagi zonk. Setidaknya sampai hari ini. Bahkan saya curiga, mungkin Pak Wali lupa. Entahlah. Eh, ngomong-ngomong Tahun 2021 malah ada tender pembangunan TPA dengan nilai Rp36,4 Milyar lo. Bye-bye Universitas Jepang.

Dalam seminar nasional yang bertemakan “Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan yang Berkelanjutan” di Ballroom Hotel Mercure Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/8/2022), yang juga dihadiri oleh Pemkot Lubuklinggau, terang-terang menjelaskan bahwa sampah adalah PR terbesar  Bangsa Indonesia saat ini.

Kita semua berharap seminar dalam rangkaian acara Rakernas Ke-XV Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Tahun 2022 tidak hanya dijadikan ajang show off saja oleh Pemkot Lubuklinggau, namun harus menjadi renungan dan pembelajaran yang nyata untuk serius dalam menghadapi masalah sampah perkotaan.

Sampah itu tidak bergerak, dia tidak salah, manusia sebagai pengelolanya lah yang lalai. Kita yang membuangnya sembarangan, kita yang memproduksinya secara berlebihan, kita yang mengelolanya secara berantakan, pemerintah yang tidak serius dalam penanganan, eh malah sampah yang selalu dihujat dan disalahkan.

Kalau saja kita bisa mendengar sampah bersumpah, mungkin kita semua akan disumpahi nya menjadi sampah yang lebih buruk dari mereka. Dan entah bagaimana, saat ini, sumpah itu sudah pada kenyataannya.

error: Maaf Konten Di Proteksi