KEMARIN, entah mengapa dalam ke-ngangguran saya yang tak bisa lepas dari belenggu makhluk pintar yang bernama ponsel, saya melihat lagi dan lagi, satu fenomena yang selalu lewat dalam beranda media sosial saya. Alih-alih berusaha untuk tidak julid, saya justru merasa harus membahas ini.
Kemarin, ya, kemarin betul, muncul berita bertubi-tubi di media sosial tentang Bupati Musi Rawas, Ratna Machmud, yang melakukan monitoring proyek di Ruas Jalan Kerambil-Mandi Aur, Kecamatan Muara Kelingi, terus jalan Sukakarya – Margatani, kemudian jalan Desa Ciptodadi – Desa Sugihwaras dan Jalan Jayaloka – Margatani arah Simpang Gegas pada Rabu 14 September 2022. Normal? Normal sekali memang. Tapi ada satu yang mau tidak mau, harus saya komentari. Pencitraan yang aneh!
Pencitraan adalah hal yang lumrah dalam politik. Boleh, sah, dan menurut saya terkesan harus. Pencitraan adalah personal branding ‘produk’ yang hendak dijual yang dengan sengaja dipromosikan. Produk itu bisa berupa benda/barang, perusahaan, atau citra diri seseorang. Namun pencitraan harus didesain seorisinil mungkin, walau tidak harus benar, pencitraan harus terlihat benar.
Bill Canton dalam buku S. Soemirat dan Adrianto. E yang terbit tahun 2007 mengungkap pencitraan adalah Kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi.
Jelas sekali bahwa pencitraan adalah penciptaan. Penciptaan yang harus original atau minimal terlihat original. Lalu apa yang aneh dari pencitraan Bupati Musi Rawas kemarin? Ya, gayanya yang ikut melakukan pekerjaan pembuatan jalan, yang diliput dan difoto sana-sini oleh media, adalah hal aneh yang mencolok. Sialnya, dipublikasikan. Salah? Tidak. Terserah dia wong dia bupatinya. Saya hanya bilang aneh dari sudut pandang saya.
Saya dari dulu termasuk orang yang heran jika ada tiba-tiba kepala daerah melakukan pekerjaan yang semestinya bukan pekerjaan dia saat melakukan monitoring. Dari dulu sampai sekarang, belum pernah saya temukan kepala daerah yang melakukan itu terlihat membantu pekerjaan. Justru menghambat!
Lain hal jika si Kepala Daerah secara tiba-tiba ikut mengatur lalu lintas yang macet sebelum petugas kepolisian datang, ada dampak yang ditimbulkan, macet sedikit banyak akan terurai. Tapi saat petugas datang ia akan serahkan tugas itu kepada ahlinya. Itu yang saya sebut pencitraan yang terlihat original. Moment sudden death seperti itu dimanfaatkan betul untuk pencitraan.
Tapi kalau melakukan monitoring proyek pengerjaan jalan, yang saat Bupati tiba sudah ada pekerjanya, sedang mengerjakan proyeknya, tiba-tiba diinterupsi dengan mengambil alat pemerata aspal dan dia mulai melakukan pemerataan aspal sekali dua kali keruk. Yang kita ketahui bersama Bupati Musi Rawas bukan ahli dalam pertukangan seperti itu sehingga kualitas yang dia kerjakan juga akan jauh lebih rendah kualitasnya dengan pekerja profesional. Bukannya membantu, sekali lagi malah menghambat.
Aneh juga melihat Bupati dengan pakaian dinasnya, make up yang cetar maksimal, boots kuning yang kontras, lalu mengerjakan pekerjaan pemerataan aspal dengan narasi ‘membantu’, itu jelas-jelas pencitraan yang tidak original dari citra Bupati Musi Rawas. Saya tidak tahu siapa komunikan politik di belakangnya yang memberikan saran untuk melakukan itu, tapi yang jelas saya tidak terkesan dengan itu.
Kalaulah George Orwell, seorang sastrawan masyhur Eropa berpendapat “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati,” bahasa politik Bupati kali ini justru lebih mengesankan bahwa yang berbohong akan jelas terlihat bohong.
Mengutip pernyataan seorang Career Coach, Reno Suhardono, Yang salah bukanlah pencitraan, tapi oknum-oknum yang membuat pencitraan palsulah yang salah. Pencitraan kemudian akan menjadi salah jika ada orang yang melakukan pencitraan palsu dengan menampilkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan kondisi aslinya.
Tapi itu kan penilaian subjektif, yang objektif dong! Oke. Pertama jelas, kita harus mengapresiasi langkah-langkah cepat Bupati Musi Rawas khususnya dalam pengerjaan infrastruktur seperti jalan yang beberapa hari lalu ia dan pihaknya monitor. Adalah hal yang harus kita dukung cepatnya pengerjaan pembangunan demi masyarakat yang nyaman dalam melakukan aktifitas usahanya.
Namun narasi-narasi yang justru cenderung bombastis dan melebih-lebihkan tetap harus kita kritik. Seperti narasi dalam salah satu media online yang menyebutkan bahwa di bawah kepemimpinan Bupati Ratna Machmud jalan Musi Rawas mulai mulus, namun beritanya kosong. Tidak ada data dan angka perbandingan. Berapa awal jalan yang rusak, rusak berat, rusak ringan, mulus, aspal, atau beton, lalu berapa yang sudah dikerjakan, berapa yang sudah mulus, berapa yang sudah dikerjakan tapi sudah mulai rusak lagi, ini jelas harus sesuai data, baru kita bisa simpulkan bahwa oh, ya benar, era ini jalan mulai mulus. Lain kali, kepada penyedia narasi khususnya dari tim Bupati agar bisa menyiapkan data-data untuk dicitrakan kepada publik, sehingga narasi itu akan kuat dan tidak kosong makna.
Lalu yang menjadi PR sepanjang hidup pejabat di Republik ini adalah pengawasan yang cenderung permisif dengan perilaku koruptif. Berapa banyak jalan yang baru dibangun dengan anggaran milyaran rupiah malah sudah mengalami kerusakan, berapa banyak program-program yang cenderung tidak sesuai dengan besar anggarannya. Jangan seolah-olah ketika sudah merealisasikan pembangunan merasa pekerjaan sudah usai dan dianggap berbuat kepada rakyat. Kalau hanya pelaksanaan proyek, namun masih kental aroma nepotisme dan korupsi percuma saja. Sama saja itu mencitrakan pendapat George Orwell di atas, bahwa politik membuat kebohongan terkesan jujur. Membuat perampokan justru terkesan berbuat untuk rakyat.
Janganlah sampai pendapat Groucho Marx menjadi nyata, bahwa Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya dengan salah, dan menerapkan pengobatan yang salah. Miris.
Oh, satu lagi, Bupati waktu itu dan beberapa orang yang mendampinginya membuat aksi aneh untuk kepentingan konten TikTok di jalan yang dibangun. Ya, kalau bupati ingin menjadi seperti pekerja pembangunan jalan itu, tolong diingat, mereka tidak membuat konten TikTok di tengah jam kerja mereka. Eh, Bupati dan pendampingnya waktu itu kerja kan? Iya dong, masa enggak.
Karena betul kata filsuf Aristoteles, Politisi itu tidak punya waktu luang, karena mereka selalu mengincar sesuatu di luar kehidupan politik itu sendiri, kekuasaan dan kemuliaan, atau kebahagiaan.
Kita tentu tidak tahu apa niat sesungguhnya beliau-beliau itu, menegaskan bahwa merekalah yang berkuasa saat ini? Mencari pengakuan publik demi kemuliaan dan nama baik? Atau hanya sekedar mencari bahagia dengan membantu sesama manusia?
Dari pilihan di atas kita memang tidak tahu niat mereka, namun kita semua tahu mana yang tidak mungkin.