MAHASISWA DAN OTOT PERJUANGAN

Oleh : Bayu Pratama Sembiring

AKHIR-akhir ini sering sekali kita mendengar tentang aksi mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Tuntutannya hampir seragam, masalah kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan pokok, dan tentu saja, tak ketinggalan, template klasik aksi demonstrasi, bumbu wajib yang harus ada, sorotan mengenai kinerja DPR/DPRD yang jauh panggang dari api.

Menarik memang melihat aksi-aksi ini, heroik, tegas, lugas, tanpa tedeng aling-aling. Puas rasanya mendengar orasi yang menyerang, walau kurang substantif. Tapi itulah aksi masa. Misinya membakar emosi, masa bodoh kajian, itu nanti, untuk skripsi.

Aksi demonstrasi mahasiswa ini, sebagian orang memang menilai sebagai ujung tombak perjuangan, dibangkitkan kembali romantisisme masa lalu, aksi 98, Trisakti, bahkan nama aktivis sekaliber Soe Hok Gie pun dibawa-bawa untuk lebih mengglorifikasi aksi. Bahkan tak sedikit para out lander, yang notabenenya dia tidak hadir di jalanan, membuat potongan-potongan video aksi demonstrasi mahasiswa sebagai narasi yang sifatnya provokatif, mengolok-olok penguasa, bahkan mengolok-olok mereka yang berpihak pada penguasa.

Lebih jauh lagi, gerakan-gerakan mahasiswa, khususnya yang berada di daerah, akan sangat disayangkan apabila menggelar aksi hanya sebagai penuntas ‘kewajiban’ sebagai mahasiswa. Terkesan ikut-ikutan, dengan narasi tuntutan yang sama persis. Mereka mengakunya sih punya kajian sendiri, tapi sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah kajian itu dipublish, diumumkan, apalagi diseminarkan. Gejolak darah muda memang tak ada satupun yang mampu membendung, hal ini yang dibaca oleh oportunis dan politisi lumutan untuk ikut menyuarakan apa yang menurut mereka harus disuarakan. Tujuannya tentu bukan seperti tujuan mulia para mahasiswa, untuk rakyat! Tapi tujuan oportunis itu tidak lain untuk kekuasaan pula.

Lalu dibuatlah narasi penderitaan rakyat dengan momentum yang ditunggu-tunggu. Narasi termakan, dan ruh kepahlawanan dalam diri manusia muda itu mendidih, muncul, dan beraksi! Apa semua seperti itu? Mungkin tidak, ada juga yang murni karena perjuangan kelas bawah, bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang hanya sekedar mengikuti trend kekinian.

Tidak bisa dipungkiri, siapapun, sekali lagi, siapapun, akan sangat setuju bahwa mahasiswa dan pemuda hari ini adalah otot-otot perjuangan rakyat. Mereka yang akan menjadi garda terdepan untuk meninju ketidakadilan, menendang kemiskinan, bahkan membunuh kesewenang-wenangan penguasa. Mahasiswa adalah instrumen paling vital saat ini dalam pergerakan. Namun ingat, otot tidak bisa berpikir. Dia bisa saja membunuh siapapun, lawan bahkan kawan. Dia bisa menggerakkan bagian tubuh manapun untuk meninju, menendang, menggigit bahkan membunuh. Hanya otak dengan logika dan akal yang mampu memerintah otot untuk memilih siapa targetnya.

Di masa yang akan datang, kita memiliki kewajiban untuk menciptakan perlengkapan tempur melawan kedzhaliman penguasa dengan bukan saja memberikan otot, namun juga otak. Ya, mahasiswa sudah seharusnya menjadi otak dan otot perjuangan. Dia harus lepas dari feodalisme. Dia harus lepas dari pengaruh kapital, dia harus lepas dari pengaruh senioritas, dia harus lepas dari ketidaktahuan dalam aksi, dia harus lepas dari semua kepentingan, kecuali kepentingan rakyat. Mahasiswa harus memilih dan memiliki takdirnya sendiri, tanpa arahan maupun instruksi siapa dan apapun.

Mahasiswa sudah harus memberikan keseimbangan antara tugas aksi dan tugas akademisi. Aksi-aksi masa harus juga diimbangi dengan pembahasan kajian-kajian yang sudah mereka lakukan, tidak masalah walau temanya sama dengan aksi demonstrasi, harus malah. Buat seminar, FGD, musyawarah umum, publikasikan di media masa, ciptakan hal-hal yang sifatnya lebih menunjukkan intelektualitas sebagai kaum penguasa kampus. Tunjukkan bahwa aksi mahasiswa adalah aksi independen dengan dasar yang kuat, bukan aksi karena provokasi apalagi aksi fotocopy. Tak bosan saya mengutip apa yang disampaikan oleh budayawan Mohammad Sobari, bahwa kampus adalah tempat menghardik kesombongan intelektual. Tentu dengan ilmu pengetahuan dan intelektual yang lain.

Tan Malaka, dalam magnum opus-nya, Madilog, menjelaskan tentang logika dan dialektika. Dua hal penting yang harusnya wajib dimiliki oleh para mahasiswa dan kaum para pemikir. Logika adalah proses pencernaan informasi melalui akal, dan dialektika adalah proses pencarian kebenaran melalui hipotesis yang sudah didapat melalui logika. Dua hal yang saling berkaitan dan tidak boleh dipisahkan. Namun sayangnya, mahasiswa, khususnya yang pernah saya temui langsung, lebih memilih bermain retorika dalam panggung demonstrasi.

Tan Malaka membuat adagium yang luar biasa. Mudah saja, melalui tambah-tambahan. 1 + 1 = 2, simpel, itu logika. Tapi bagaimana kalau 1 telur + 1 sapi = ? Pencarian jawaban itulah yang dinamai dialektika. Perlu berpikir dan mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak masuk akal, misal, apakah itu menjadi telur mata sapi? Penyeleksian kemungkinan inilah dalam dialektika yang memakan waktu dan biasanya tidak semua orang berkenan, bahkan seorang intelektualis sekalipun. Daripada susah mencari kebenaran, mending kita membenarkan saja yang ada, melalui retorika.

Sekali lagi, harapan saya mahasiswa dimasa depan akan menjadi mahasiswa yang mengatur perjuangannya sendiri melalui keseimbangan antara otak dan otot perjuangan. Bukan saja berjuang melalui orasi di atas mimbar yang singkat, namun juga harus mampu mempertanggungjawabkan kesimpulan olah otaknya melalui forum-forum formal atau semi formal yang membahas kajian terkait aksi yang dilakukan.

Bagaimana? Bisa bukan? Kalaupun tidak mampu, tidak apalah, otot juga sudah lumayan.

error: Maaf Konten Di Proteksi