16 Agustus 2022, tepat dua tahun saya berumah tangga, penyesuaian-penyesuaian dalam rumah tangga masih terus kami lakukan. Fakta masing-masing kekurangan berusaha kami abaikan. Setiap kali ada kebaikan sebisa mungkin kami beri pujian. Saling menguatkan, saling meredakan, saling mencari formula terbaik untuk mengikuti jejak-jejak pendahulu, yang bersatu tanpa terpisahkan oleh buai dunia yang semu.
Harapan kami, seperti pepatah lama, disatukan oleh ijab qobul, dipisahkan hanya oleh linggis dan cangkul.
Terlalu dini, mungkin lebih tepatnya terlalu naif untuk mengatakan bahwa rumah tangga kami selalu baik-baik saja. Adakalanya perbedaan pendapat merubah suhu ruang hati menjadi hangat, bahkan panas. Solusinya sebenarnya mudah, aku yang diam, atau dia yang berhenti bicara. Celakanya, panas hati menghalangi kami mencari solusi yang sebenarnya mudah itu.
Lucunya, meski hati panas, suasana rumah terasa dingin, dingin sekali. Awalnya suara perdebatan bikin bising, kini hening, tak sepatah kata keluar dari pita suara. Badan memang berpapasan, tapi lidah terlalu gengsi untuk sekedar menyapa menanyakan perasaan. Mata sudah meronta ingin memandang, namun ego menahan seolah meyakinkan bahwa mata kami adalah dua kutub magnet yang selalu bertolak.
Selalu, dan selalu, yang meluluhkan hati adalah rasa rindu. Bukan, bukan pada dia atau suaranya, tapi pada masakan yang selalu ia hidangkan dengan cinta.
Saya dulu pernah berpikir, bagaimana rasa masakan koki profesional. Dengan dedikasi dan cintanya pada makanan yang dia hidangkan, dengan perhatiannya terhadap setiap detail masakannya, bahkan jika ada asisten koki senior yang melakukan kesalahan yang membuat tampilan atau cita rasa masakannya berubah, siap-siap kena mental. Ah, mungkin rasanya begitu nikmat. Mimpiku, suatu saat akan aku nikmati hidangan terenak dari koki profesional paling masyhur di planet bumi. Chef Gordon Ramsey, Chef Alain Ducasse, Chef Anne Shopie Pic, atau yang kalau kata Markus Horison kemarin “local pride”, Chef Juna, Chef Arnold atau Chef Renata.
Sampai tiba masanya, tidurku tak lagi sendiri. Masa di mana baju yang biasa bertumpuk berbulan-bulan bak ikan yang jadi bekasam, tak sampai 1×24 jam sudah kembali siap pakai, dengan wangi melati segala. Masa di mana lelahku akan seketika hilang saat pulang karena disambut senyum yang sedari tadi dirindukan.
Masa di mana aku menikmati hidangan paling nikmat sejagad raya yang disajikan oleh chef paling handal sedunia. Masa di mana mimpiku dahulu terwujud, bukan oleh tangan chef internasional itu, tapi oleh tangan istriku.
Aneh memang, selama penyelidikan yang kulakukan dia bukanlah lulusan sekolah jurusan tata boga, apalagi kursus mahal ala chef internasional.
Tapi setiap sendok makanan yang dia hidangkan, yang tersuap masuk ke dalam mulut, terputar oleh lidah hancur oleh geraham, ada bahan asing yang membuat kecanduan. Yang membuat selalu ingin pulang ketika jam makan, yang membuat rindu ketika ia mengolah menu.
Pernah kuperhatikan betul saat ia mengolah masakan. Caranya memotong sayur, menghancurkan bumbu, menyiapkan tempat, menyatukan bahan-bahan, sampai menyajikan, semua tampak biasa saja. Tak ada gerakan lebay atau show off skill memasak dengan mengangkat-angkat kuali atau ada resep rahasia ala Crusty Crab dengan bahan pilihan yang langka. Justru tak jarang juga dia nyambi nyuci piring atau nyapu. Tapi lagi-lagi rasa itu terlalu kuat tertanam, terasa istimewa dengan semua kesederhanaannya.
Lama aku meneliti, apa sebab itu terjadi. Walau tak sampai kelas internasional, pernah pulalah aku mencicipi menu chef profesional, ah, beda. Enak, tapi tidak mencandu.
Dengan semua premis dan hipotesis yang ada, lama akau bertanya apa rahasianya.
Aku teringat, dulu, waktu itu, satu bulan, bukan, mungkin dua bulan yang lalu, ketika kami sama-sama menjadi kutub selatan, tak kurasa nikmat makanku. Tak ada rasa yang selama ini kukecap. Ah, aku tahu rahasianya.
Kuturunkan egoku, diapun sama, malam itu, keadaan menjadi akrab, makanan yang biasa dia hidangkan dengan cara yang sama tampak lebih istimewa, kami tertawa, menertawai kegoblokan pagi tadi. Ah, sedapnya makanan itu. Rasa itu kembali.
Kini kutahu rahasianya. Itu adalah CINTA. Bukan cinta biasa, tapi cinta yang tepat.
Jika para koki profesional itu mencurahkan cintanya pada makanan yang ia buat, istri justru mencurahkan cintanya pada dia yang akan menyantap.
Jika para koki profesional itu menuntut kesempurnaan dan tidak menerima kesalahan, istri justru bertanya, apa yang kurang?
Jika para koki profesional itu mengabdikan dirinya pada dapur, istri justru memberikan dapurnya untuk pengabdian.
Jika para koki profesional itu berharap dibayar materi, istri berharap dibayar cinta dan ridho ilahi.
Yang terkhusus dan tidak akan sama, koki profesional itu tidak akan makan satu meja dengan kita, tapi istri, rela menunggu hanya untuk makan bersama suaminya. Betapa cinta yang sungguh luar biasa.
Ah, pantas saja rasanya begitu istimewa. Patutlah kiranya Tuhan meminta kita memuliakan istri. Karena setiap kemuliaan itu akan tumbuh damai dan cinta pula dalam hatinya. Dan dengan itulah, dia, para istri, mampu melalui kehidupannya dengan penuh bahagia.
Tak diragukan lagi, meski bukan yang paling terkenal, meski bukan pemilik restoran, Koki terbaik itu bergelar Istri.