FILM TUA YANG DIPAKSA HIDUP SELAMANYA

Oleh : Bayu Pratama Sembiring

TIAP-tiap Tanggal 30 September kita harus siap-siap naik roller coaster. Kereta wahana ingatan masa lampau tentang kejadian G30S yang terlihat cepat dan berbahaya namun nyatanya kita hanya berputar-putar dalam trek saja. Alih-alih diisi dengan diskusi, pembedahan nalar, logika, dan isi kepala anak-anak muda, hari penting ini malah dijadikan pelanggengan film tua yang dipaksa untuk hidup selamanya.

Berdalih “JAS MERAH” padahal hanya sebatas malas saja untuk menyajikan konten yang lebih edukatif serta membuka setiap sekat ruang-ruang kritis dan perbedaan pendapat. Malas, atau malah tidak mampu? Sebenarnya dua-duanya bermasalah.

Kritik ini tentu bukan pada fakta bahwa PKI membantai para Jenderal terbaik Republik masa itu. Fakta itu jelas tetap harus kita ingat dan hujat demi perbaikan era masa depan. Namun kritik ini lebih pada narasi yangg dimainkan dalam film dan narasi-narasi kelompok-kelompok tertentu yang tak ingin beranjak dari glorifikasi dan romantisisme masa lalu.

Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang diproduksi era rezim Presiden Soeharto tentu kental bermuatan propaganda satu arah untuk memperkuat citra kuat pemerintah. Sayangnya, menonton film ini menjadi kewajiban bagi masyarakat kala itu alih-alih menjadi hak. Puluhan tahun lamanya film ini diputar, ditonton, dicekoki kepada setiap generasi yang lahir masa itu. Tanpa kritik, tanpa tanya, tanpa diskusi, tanpa hak untuk menolak fakta, semua dipaksa dan setuju, itulah fakta satu-satunya.

Beda halnya dengan era reformasi saat ini. Demokrasi tiap saat mulai diperbaiki. Kekang terhadap ide dan imajinasi mulai dilucuti, hari ini semua bebas berbicara apapun dan dimana pun, meski tetap harus juga menghormati kebebasan orang lain.

Kritik-kritik terhadap fakta sejarah film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI Karya Arifin C. Noer yang diproduksi tahun 1984 mulai bermunculan, kian deras bahkan sudah membentuk aliran fakta baru. Film-film serupa dengan sudut pandang yang berbeda juga eksis diproduksi. Sebagai generasi yang tumbuh di era reformasi, harusnya anak-anak muda jangan disuguhi hal-hal yang sifatnya tendensius dan subjektif. Beri mereka seluas-luasnya informasi terkait fakta-fakta yang terungkap. Tidak perlu dipaksakan menonton bareng film tersebut yang mirisnya penyelenggara sendiri terkesan kurang menikmati film bahkan sampai pada titik tidak peduli juga.

Apalagi anak-anak muda yang biasanya kritis berpendapat, tak jarang banyak anak-anak sekolah yang justru memilih tidur saat nonton bareng film tersebut. Bahkan, Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo yang gentol menyuarakan bangkitnya PKI baru, tertangkap kamera tak bisa menahan tidurnya saat nonton bareng yang diselenggarakan olehnya sendiri.

Film tua itu tidak juga sepenuhnya salah, perlu pula untuk menjadi referensi perbandingan fakta. Tapi yang salah adalah memaksakan pendapat bahwa itu adalah fakta yang benar satu-satunya, tanpa membuka diskusi dan berdialektika dalam mencari kebenaran yang hakiki.

Film tua itu sejatinya hendak istirahat, sudah saatnya dia mati atau didaur ulang. Namun masih ada saja pihak-pihak yang memaksanya untuk hidup selamanya. Membawa hantu masa lalu ke tengah-tengah zaman sekarang yang kita semua tahu zaman ini memiliki tantangannya sendiri, memiliki hantunya sendiri yang harus diatasi, jangan sampai beban trauma masa lalu dihadiahi untuk disimpan dalam-dalam yang justru membawa dendam yang harusnya sudah terkubur lama tetap hidup dalam balutan film propaganda.

Benarlah kata Arie Saptaji, bahwa Luka itu malah dilanggengkan, terus dikorek-korek, dan setiap kali siap dijadikan “hantu” yang dibangkitkan kembali untuk mengintimidasi, tampaknya guna memuaskan syahwat kekuasaan pihak tertentu. Dan kini, monster itu masih juga mau dilepaskan bagi generasi milenial. Setengah abad sudah lewat, dan kita seakan belum beranjak ke mana-mana.

Pada akhirnya kepada diri sendirilah kita mengaku bahwa apa yang kita lakukan hanya pepesan kosong semata, yang tak lain dan tak bukan dilakukan demi formalitas dalam memperingati hari besar semata.

error: Maaf Konten Di Proteksi