Dusta Atau Ekspektasi yang Membabi Buta?

Oleh : Bayu Pratama Sembiring

SEJAK heboh-heboh kedatangan konten kreator kenamaan Pratiwi Noviyanthi di Lubuklinggau, saya adalah salah satu (atau satu-satunya) orang yang tidak menaruh ekspektasi tinggi terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun tentu itu adalah langkah yang harus diapresiasi, bukankah setiap niat baik akan punya dampak baik juga bukan?

Ekspektasi saya tentu beralasan. Pertama, beliau bukanlah pemilik basic pendidikan atau pekerjaan di psikolog apalagi bidang kedokteran, yang notabenenya sangat diperlukan untuk menangani orang-orang dengan kebutuhan penanganan medis khusus yang sesuai dengan kontennya. Ya, bisa jadi dia punya tim yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam penanganan ODGJ, tapi secara konteks dan konten, dia sendiri yang membawa acara kontennya, tentu yang harus dipakai dan dituntut profesional adalah dirinya sendiri karena secara langsung berhadapan dengan proses penanganan.

Kedua, Dia bukan juga perwakilan pemerintah yang memiliki akses pendanaan maupun sistem yang besar. Dia dan krunya memiliki akses dana terbatas yang dikeluarkan dari dana pribadinya. Tidak mungkin bisa menangani hal-hal yang sifatnya sudah serius bahkan dibutuhkan penanganan sampai tahunan. Kitapun secara bijak harus memahami itu.

Tapi dua hal itu bukanlah yang sesuatu yang harus dipermasalahkan, cukup niat baiknya yang menjadi dasar penilaian. Tapi apakah benar saya tidak berekspektasi tinggi? Benar! Tapi salah jika saya tidak memiliki ekspektasi apapun. Intinya di sini.

Kedatangan beliau di Lubuklinggau harusnya menjadi cambuk pengingat bagi Pemerintah Kota Lubuklinggau bahwa ada permasalahan sosial seperti itu di Kota Lubuklinggau. Seharusnya mereka yang kita kejar untuk dimintai tanggung jawabnya. Minimal, menurut saya, dengan kedatangan Mbak Novi ini bisa menjadi tombol pemicu kesiapsiagaan pemerintah untuk aktif dan melakukan pekerjaannya secara maksimal untuk pula berjuang terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang jujur saja, itu juga menjadi fokus perjuangan kita semua meski hanya di dalam hati.

Bukankah kita semua tahu cerita si burung pipit yang membawa air di paruhnya untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim? Dia tahu bahwa itu tidak mungkin memadamkan api yang begitu besar, namun setidaknya, Tuhan tahu di mana ia berpihak.

Ekspektasi yang terlalu tinggi tentu akan membuat kecewa yang amat besar pula. Bukankah berharap kepada makhluk hanya akan berbalas kecewa? Bahkan ekspektasi saya yang cukup rendah saja tidak kesampaian, malah, hari ini terjadi perseteruan, civil war. Orang-orang baik sibuk saling mengklarifikasi, sementara mereka yang memang memiliki tanggung jawab moral dan pekerjaan, pemerintah yang harusnya menjadi tangan dan mata Negara justru malah nyaman dengan ketidakmampuan mereka menangkap masalah sosial ini. Bahkan mereka malah yang dianggap ‘wise’, bijaksana, dan benar. Miris!

Apakah kerja-kerja sosial yang diperankan oleh sipil dan dikontenkan hanya dusta semata dalam perjuangan mereka? Saya pikir tidak. Masalah konten yang dicuankan saya pikir tidak masalah, selama masih dalam koridor hukum yang benar. Lalu bagaimana jika ada hukum yang dilanggar dalam pembuatan konten? Ya tinggal laporkan saja. It’s as simple as that.

Tapi ekspektasi yang tinggi apakah juga bisa disalahkan? Bagi mereka yang sudah fanatik dengan konten-konten heroik yang menampilkan keberhasilan, adalah juga hal yang wajar menurut saya. Lalu ketika ekspektasinya tidak dituruti dan dia kecewa, juga tidak bisa disalahkan.

Yang salah adalah mereka yang tidak berbuat apa-apa dan tidak memiliki harapan apa-apa!

Pesan saya, rasional kan harapan, jangan menaruh ekspektasi yang membabi buta terhadap sesuatu yang terang jelas terlihat mata di dunia ini.

Plato membagi realitas menjadi dua alam. Alam imajinasi/ide, dan alam dunia. Imajinasi adalah realitas yang paling sempurna, sementara dunia (yang dibangun) adalah bentuk tidak sempurna dari imajinasi itu sendiri.

Apabila kita hendak mendapatkan yang selalu sempurna, maka teruslah hidup dalam imajinasimu. Namun apabila tidak, sadarlah, dan mulai simpulkan bahwa dunia ini tidak sesempurna imajinasi.

error: Maaf Konten Di Proteksi