Bualan Manis dan Mahar Politik Sang Penguasa Negara

Oleh: Amelia Cahyanti, Mahasiswi Program Studi Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Berkali-kali masyarakat indonesia sering kali mendengar obralan janji para calon pemimpin negara. Politisi itu dimana-mana sama, mereka berjanji membangun jembatan padahal tidak ada sungai didalamnya. Kontrak yang dijanjikan sebelumnya ternyata hanya sebuah lembar kertas yang kumuh tidak berguna. Mereka berani berjanji tetapi juga berani untuk mengingkarinya. Taktik yang digunakan pun ternyata cukup berhasil, walaupun tak sepenuhnya sukses.

Jadi pada saat ingin melakukan kampanye para calon pemimpin minta untuk dipilih, dengan dalih memberikan bantuan dan bersosialisasi yang tidak tanggung-tanggung padahal kenyataannya semua hanyalah bualan manis awal dari hancurnya negara. Ternyata janji politik ini terbukti sesuatu yang sulit ditagih, bahkan didepan mata sekalipun. Menghadapi janji politik seperti itu, masyarakat sudah semestinya sadar bahwa kita tidak bisa begitu saja percaya pada janji.

Masyarakat juga harus tahu bahwa janji seperti itu hanya berkekuatan moral dan tidak mempunyai kekuatan hukum Artinya kita hanya bisa mencaci maki politisi yang ingkar janji, tanpa bisa menuntutnya ke pengadilan. Di lain pihak, pemimpin yang memiliki hati nurani tentu berpikir seribu kali jika tak menepati janjinya.

Mereka sebenarnya juga akan rugi karena kehilangan kepercayaan dari warganya, selain dihantui perasaan gagal. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan.

Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari. Dengan demikian, secara moral, janji adalah sesuatu yang seharusnya secara sungguh-sungguh dipegang untuk kemudian direalisasikan menjadi kenyataan, bukan sebaliknya hanya menjadi instrumen pencitraan diri untuk meraih simpati rakyat.

Faktanya, kewajiban moral tersebut tidak benar-benar membentuk komitmen para wakil terpilih untuk mewujudkan janjinya. Sebab itu, perlu ada strategi guna memastikan janji tersebut ditepati.

Tak hanya tentang janji dalam berkampanye di pemilu para calon pemimpin ini ternyata juga menggunakan taktik “uang perahu untuk berlayar ke pemilu” yang artinya kendaraan para calon pemimpin di partai politik untuk mendapatkan stampel dari masyarakat setempat dalam jual beli suara. Mengingat hal serupa one man one vote ternyata menjadi landasan mereka untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat.

Semakin besar uang yang dikeluarkan maka semakin besar peluang kandidat untuk menang. Mahar politik memiliki dampak yang buruk, baik bagi demokrasi, regulasi, dan masyarakat secara luas. Kandidat yang terpilih karena mahar politik terbukti tidak memiliki integritas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.

Bahkan banyak kejadian kepala daerah yang menggadaikan integritasnya sehingga membuka ruang untuk terlibat dalam korupsi, boleh jadi “mahar politik” menjadi pemicunya. Mahar politik ini adalah sebuah transaksi yang kadang juga tidak terdeteksi, dikarenakan banyaknya backup-an orang dalam di dunia para politisi.

Isu mahar politik ini seringkali tidak berakhir dengan tuntas, tampak ada namun juga tidak ada. Kita tentu sangat biasa mendengar tak ada makan siang gratis atau no free lunch. Artinya untuk menjadi kepala daerah, pasangan calon tetap mengeluarkan namanya biaya kampanye. Sulit rasanya menemukan calon kandidat yang ikut pilkada tak keluar dana kampanye.

Etika janji politik tak ditepati, maka jangan heran mereka yang sedang berkuasa pecah kongsi dan saling berlawanan di kontestasi berikutnya. Mahar politik ini juga salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaran pesta demokrasi, baik itu nasional maupun lokal yaitu di Indonesia. Praktik inilah yang membuat integritas kualitas seorang pemimpin menjadi rendah.

Negeri ini membutuhkan pemimpin yang jujur dan kompeten mengurus negara. Juga harus memiliki visi dan kompetensi dalam mengurusi negara. Kehancuran suatu negara tidak terjadi karena pemimpin yang tidak pintar melainkan karena pemimpin yang tidak jujur. Negeri ini akan hancur jika pemimpinnya suka mengingkari janjinya. Sudah menjadi tugas kita semua untuk menyelamatkan Indonesia, dengan menegakan nilai-nilai keadilan dan kejujuran.

Sudah tugas kita bersama untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Tentu untuk meraihnya, dibutuhkan dicapai pemimpin yang mumpuni, jujur, dan tidak pernah meningkari janjinya. (*)

error: Maaf Konten Di Proteksi